Bahasa Walikan digunakan dalam pergaulan sehari-hari di Kota Malang. Sebetulnya bahasa tersebut hampir sama dengan bahasa Jawa dan Indonesia, hanya saja ada beberapa kosa kata yang dibalik cara bunyi membacanya. Sebenarnya tidak sesederhana semua-kata-dibalik begitu saja melainkan ada aturan-aturan lain yang mengikat.
Sebagian besar penghuni Kota Malang adalah mahasiswa pendatang dari luar kota. Mereka ikut-ikutan menyelipkan tuturan basa Walikan dalam beberapa situasi percakapan demi kepentingan pergaulan. Karena adanya aturan bahasa yang tidak banyak mereka ketahui, bahasa Walikan ini mereka ubah sehingga melahirkan bahasa pergaulan baru yang diterima lebih luas. Ada aturan-aturan bahasa yang diterjang karena lebih mudah, hanya dengan asal membalik kata-kata. Mereka tidak mengikuti aturan bawah sadar yang telah disepakati para penutur asli.
Semua bahasa sebenarnya memiliki aturan yang disepakati bersama secara tidak langsung oleh para penutur aslinya. Hanya saja di sini kita akan fokus pada aturan bahasa Walikan yang saya ketahui.
Kita coba mulai diskusikan dari kata kuy dan ngab yang sempat populer digunakan di berbagai sosial media. Kedua kata tersebut sebenarnya tidak terdengar seperti basa Walikan sama sekali. Terus terang, saya pribadi (yang sudah tinggal bertahun-tahun di Kota Malang) sebenarnya masih merasa terganggu dengan penggunaan kedua kata tadi. Namun, mau bagaimana lagi? Kedua kata tadi sudah telanjur digunakan, diterima, dan tersebar luas.
Dalam basa Walikan, tidak semua kata harus (atau boleh) dibalik begitu saja; hanya kata-kata yang lumrah digunakan dalam bahasa Jawa Timur atau bahasa Indonesia yang umum dipakai orang Jawa Timur saja. Dua contoh kata yang seperti dibahas tadi; yuk dan bang bukanlah kata yang biasa digunakan orang Jawa Timur. Sebagai padanannya, orang Jawa Timur menggunakan kata ayo dan mas.
Selain itu, hasil dari kata yang sudah dibalik harus nyaman untuk lidah orang Jawa. Kata mas tadi misalnya, ketika dibalik hasilnya menjadi sam. Nah, kata sam itu masih nyaman bagi lidah Jawa. Kenyamanan penutur asli itulah yang seharusnya juga menjadi prinsip pembentukan sebuah bahasa.
Berbeda dengan kata ayo. Kata ayo justru tidak pernah dibalik menjadi kata oya untuk dituturkan dalam basa Walikan. Itu karena kata oya tidak nyaman dilafalkan bagi lidah Jawa.
Untuk beberapa kata yang lain malah harus dimodifikasi terlebih dahulu setelah dibalik supaya nyaman di lidah penuturnya. Seperti kata mlaku yang akhirnya menjadi uklam. Kalau sekedar dibalik jadi ulkam maka kata tersebut risih untuk para lidah Jawa. Pasalnya, dalam bahasa Jawa asli tidak ditemukan bunyi konsonan /l/ yang bertemu dengan bunyi konsonan /k/. Namun, sebaliknya ada beberapa kata dalam bahasa Jawa asli yang mempertemukan bunyi /k/ dahulu dengan /l/ belakangan. Misalnya pada kata klambi, klepon, kliwon, dan klasa.
Beberapa kata bahkan dimodifikasi sangat jauh berbeda hingga tidak kelihatan asal katanya dari mana. Misalnya kata ojir yang berarti uang (nah, bagaimana bisa jadi ojir?) dan kata idrek yang artinya kerja. Pokoknya, aturan utamanya adalah harus nyaman di lidah orang Jawa.
Kita kembali ke bahasan kata kuy dan ngab. Kata kuy dan ngab tidak terdengar seperti kosa kata Jawa sama sekali. Bandingkan dengan kata uklam, ojir, idrek, atau ayas, umak, dan kosa kata basa Walikan asli lainnya, yang sekalipun tidak terdaftar di kamus bahasa Jawa tetapi terdengar seperti bahasa Jawa ketika diucapkan (karena nyaman dan familier dengan lidah Jawa).
Namun, tidak berarti saya menyalahkan mereka yang membolak-balik bunyi kata-kata dalam bahasa pergaulan. Bahasa bukanlah tentang salah dan benar, tetapi tentang bagaimana supaya pesan yang dikehendaki bisa tersampaikan dengan perasaan. Toh, bahasa Walikan yang asli akan tetap ada di samping bahasa Walikan yang baru dilahirkan tadi.
Inti dari apa yang saya coba sampaikan adalah bahasa Walikan sekarang bisa diterima lebih luas sebagai bahasa pergaulan, tidak hanya di sekitar Kota Malang saja. Hanya saja rasa asli bahasa Walikan sudah berubah, tidak lagi terdengar seperti bahasa walikan yang sebenarnya. (A. Wiqoyil Islama)